MEDAN – Pembina Yayasan, Sofyan Tan, menuturkan sekolah juga aktif menggelar kegiatan kemanusiaan atau bakti sosial terhadap warga yang secara ekonomi berkekurangan atau tengah mengalami musibah misalnya banjir, kebakaran atau gempa bumi untuk menanamkan nilai-nilai kepedulian kepada siswa. Seperti belum lama ini menggelar Bakti Sosial untuk korban gempa yang terjadi di Pidie Jaya, Aceh belum lama ini.
Di sekolah misalnya dibentuk Leo Club. Anggotanya peserta didik yang secara sukarela menyisihkan sebagian uang jajan mereka setiap bulan untuk membuat kgiatan sosial.
Sofyan Tan menekankan juga pentingnya guru sebagai raw model dalam praksis pendidikan multikultural. Selain melibatkan “intervensi” guru, pelibatan orangtua juga tak kalah penting.
“Sekolah juga melibatkan orang tua dalam kegiatan-kegiatan sekolah, memberikan pembelajaran kepada orangtua ketika orang tua menunjukkan sifat stereotip yang bertentangan dengan praktek toleransi di sekolah,” katanya.
Lewat metode dan pelibatan multi pihak, pencerahan pun terjadi. Tumbuh kesadaran dan sikap toleran dari peserta didik, juga orang tua untuk menerima kehadiran sang liyan.
Saat sikap untuk menerima kehadiran sang liyan dianut dalam kehidupan sehari-hari atau telah menjadi langgam interaksi sosial, maka budaya toleransi bisa dikatakan telah bertumbuh.
Usaha merawat keberagaman budaya peserta didik dan menumbuhkan budaya sekolah yang toleran terhadap perbedaan itu sendiri sudah berumur panjang di sekolah yang beroperasi sejak April 1988 itu.
“Saat nilai budaya mau mengakui, menghargai dan menerima perbedaan yang ada sudah tumbuh, maka peserta didik dapat berperan ikut menjaga budaya sekolah multikultur,” katanya. (trbn/sil)
Posting Komentar
Bagaimana tanggapanmu ?.. yuk tulis disini...