Oleh: J Anto
NILAI toleransi atau tenggang rasa mendorong terwujudnya gotong-royong yang selama ini menjadi jiwa bangsa kita. Namun pascareformasi, justru muncul kecenderungan menipisnya nilai toleransi. Menurut anggota Komisi X DPRI RI yang antara lain membidangi pendidikan, dr. Sofyan Tan, hal itu diakibatkan absennya pendidikan mutikultural atau pendidikan Pancasila. Berikut kutipan wawancara Analisa di Sekolah Sultan Iskandar Muda, Medan, Jumat (6/1).
Analisa: Belakangan ini budaya toleransi, tenggang rasa masyarakat mulai menipis, orang-orang saat ini tak lagi nyaman hidup bertetangga dengan orang yang berbeda, gejala apa ini sebenarnya?
Sofyan: Kalau kita lihat sekarang ini, tindak intoleransi, radikalisme, kekerasan memang mencemaskan. Itu karena ada orang yang tidak mau menerima perbedaan. Padahal sesungguhnya budaya bangsa kita penuh tenggang rasa. Bahkan jiwa bangsa kita itu sesungguhnya penuh semangat gotong-royong. Gotong-royong itu perwujudan dari tenggang rasa terhadap perbedaan. Gotong-royong melampaui perbedaan, gotong-royong terwujud semata karena didorong rasa kemanusiaan.
Analisa: Kenapa jiwa gotong-royong sebagai wujud semangat menghargai perbedaan makin tergerus. Apa faktornya?
Sofyan: Salah satunya globalisasi. Sekarang ini tindak kekerasan yang terjadi di negara-negara lain akibat pemahaman agama yang tidak utuh sangat mudah dilihat. Bangsa kita itu mudah sekali meniru, menyontek. Pertanyaannya, kenapa pertahanan kita mudah ditembus nilai-nilai yang datang dari luar? Karena pendidikan kita pascareformasi tak lagi mengindahkan pendidikan karakter. Tak ada lagi pelajaran seperti pendidikan moral Pancasila yang menekankan pentingnya menghargai perbedaan.
Analisa: Jadi pendidikan karakter hilang dari penyelenggaraan pendidikan kita?
Sofyan: Hilang sejak reformasi, sudah 19 tahun lebih. UU Sisdiknas kita, tidak mencantumkan bahwa penyelenggaraan pendidikan nasional harus bernapaskan pada Pancasila dan UUD 45. Akibatnya kurikulum pendidikan kita tidak mengedepankan hal itu. Memang ada pendidikan kewarganegaraan, tapi tidak ada pendidikan ideologi Pancasila yang kemudian diiplementasikan dalam lingkungan sekolah dan luar sekolah.
Analisa: Akibatnya ideologi lain masuk ke lembaga pendidikan?
Sofyan: Iya benar, apalagi jika ideologi lain itu dikaitkan dengan soal agama. Kalau pemahaman agama dilakukan secara paripurna, justru akan meningkatkan toleransi. Tapi kalau dipahami sebagian-sebagian, maka jadi tidak sesuai lagi dengan ideologi Pancasila.
Analisa: Apakah itu berarti sekolah monokultur salah?
Sofyan: Tidak seperti itu. Yang jelas penyelanggaraan pendidikan seperti apa pun di negara kita, harus tidak boleh lepas dari kenyataan bahwa masyarakat kita itu plural dan kita memiliki ideologi Pancasila. Pendidikan Pancasila itu jangan hanya sekadar dihapalkan, itu tak menarik, tapi nilai-nilai itu diterapkan dan dikaitkan dengan mata pelajaran yang diajarkan. Jadi jangan sekadar wacana.
Analisa: Contohnya?
Sofyan: Misalnya sila pertama Ketuhanan YME. Anak-anak harus melihat sendiri bagaimana ibadah agama yang plural itu dilaksanakan, dan guru harus mampu mejelaskan ayat-ayat dalam kitab suci yang tidak mengajarkan permusuhan, tetapi yang diajarkan takut akan Tuhan. Anak itu waktu lahir tidak mengenal perbedaan suku, mereka bisa bercengkerama satu sama lain, saling senyum dan tertawa. Anak tidak tahu bahwa putih dan hitam bisa saling memisahkan mereka kelak setelah dewasa. Mereka bisa bercengkerama, bersatu karena rasa kemanusiaan sebagai sesama manusia. Masalahnya saat dewasa mereka menerima pendidikan bahwa berbeda itu musuh, itu yang berbahaya. Saat rasa kemanusiaan dipupuk dengan intoleransi, itu berbahaya.
Analisa: Dari pengalaman mengelola penyelenggaraan pendidikan multikultural selama ini, bagaimana cara mewujudkan sila kedua Pancasila misalnya?
Sofyan: Dengan melibatkan siswa dalam kegiatan-kegiatan sosial. Misalnya membuat aksi peduli kemanusiaan. Kemarin saat perayaan Natal di sekolah misalnya, dana Natal yang terkumpul digunakan untuk membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah bencana gempa bumi di Pidie Jaya.
Analisa: Jadi untuk meningkatkan budaya toleransi pendidikan Pancasila harus dikembalikan ke sekolah?
Sofyan: Pendidikan Pancasila harus dikembalikan ke sekolah dan diimplementasikan. Pendidikan Pancasila itu tak lain pendidikan multikultural. Tahun 2017 Kemendikbud sudah mengalokasikan anggaran untuk mengembangkan model sekolah Bhinneka Tunggal Ika idengan memilih sekolah percontohan atau laboratorium Pancasila.
Analisa: Bagaimana gambarannya kira-kira?
Sofyan: Kemendikbud akan memilih sekolah yang layak untuk dijadikan model. Nanti sekolah tersebut akan diperkaya model pendidikan multikulturalnya, ada juga pengayaan metode mengajar gurunya, kurikulumnya, juga fasilitasnya. Itu akan bekerjasama dengan pihak-pihak yang selama ini juga mengembangkan pendidikan multikultural.
Analisa: Jadi boleh dibilang, pendidikan multikultural sudah terlambat di negara kita?
Sofyan: Sudah sangat terlambat. Ini kesalahan 19 tahun lalu. Intoleransi bisa berkembang karena karena selama ini kita lalai tidak menyentuh pendidikan untuk menjaga keindonesiaan kita. Ibaratnya, sekalipun kita punya harta yang sangat banyak, tapi kalau kita tidak punya karakter, maka harta itu akan habis. Anak miskin, tidak punya harta, tapi punya karakter bagus, suatu saat bisa punya harta. Tapi punya harta banyak, tidak punya karakter, suka foya-foya suatu saat harta akan habis. Seperti pepatah, “Emas Segunung pun Suatu Saat akan Habis”.
Analisa: Apa tantangan dalam penyelenggaraan pendidikan multikultural?
Sofyan: Pendidikan mulikultural butuh waktu lama, sementara orang sering tidak sabaran. Maunya kalau makan langsung terasa pedas. Pemerintah kalau punya program atau kegiatan, maunya langsung kelihatan “wah”. Seperti program bagi-bagi duit. Tapi pendidikan multikultural baru bisa dirasakan 20 tahun kemudian. Itu salah satu tantangannya. (Analisa; foto: Azrur R).
Posting Komentar
Bagaimana tanggapanmu ?.. yuk tulis disini...