Ada Ompodi dan Murukku Saat Deepavali


Oleh: J Anto. Di dalam pura yang diapit masjid, gereja  dan vihara di Komplek Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan, Samitra Pillai (38) terlihat sibuk mengatur puluhan siswa yang tengah simulasi ibadah untuk perayaan Deepavali di sekolah mereka, Kamis (27/10).

“Cukup sibuk, juga cukup lelah sebe­narnya. Besok saya ambil cuti karena mau melakukan sembahyang leluhur dulu, sudah terlambat,” tuturnya. Perayaan Deepavali memang jadi hari istimewa bagi umat Hindu. Sekali pun sibuk. Ibu tiga anak itu mengaku bersyukur karena sekolah tempatnya mengabdi sebagai guru agama Hindu, menjadikan Deepavali sebagai hari libur.

Menurut Ketua YP Sultan Iskandar Muda, Finche Kosmanto, sebagai sekolah multikultur, perguruan itu  tak mengenal dikotomi mayoritas-minoritas.  Sekali pun siswa yang beragama Hindu minoritas, namun pihak sekolah tetap menyeleng­garakan perayaan Deepavali.

“Itu sebagai implementasi pendidikan multikultural yang sudah lama kami terapkan,” ujar Finche.  Hari Deepavali yang bersifat libur fakultatif, diputuskan jadi hari libur tetap sekolah. Kebijakan itu diambil agar siswa dan guru Hindu bisa khusuk merayakan Deepavali, Sedangkan siswa dan guru yang berbeda agama bisa berkunjung ke rumah teman mereka yang merayakan Deepavali.

“Bahkan pada tahun ini kami juga telah selesai membangun pura untuk tempat ibadah soiwa dan guru Hindu,” tambahnya. Perayaan Deepavali di sekolah tersebut bukan hal baru. Tapi  sudah dilakukan sejak 5 tahun lalu.

Samitra juga sudah kerap terlibat sebagai panitia inti. Tak terkecuali tahun ini. Seperti juga umat Hindu lainnya, sepekan menjelang perayaan, Samitra sudah sibuk menyambut Deepavali. Tak hanya mempersiapkan ritual agama, ia juga menyiapkan kuliner khusus dan bersih-bersih rumah. Namun di sela semua urusan itu, ia juga sibuk mengajar di sekolahnya. Belum lagi, menjadi pembina untuk perayaan Deepavali di sekolahnya.

Walau lelah, ia mengaku tetap ber­semangat merayakan Deepavali. Bagi Samitra, ada dua ritual ibadah Deepavali yang tak boleh ditinggalkan. Pertama, sembahyang kepada para dewa di rumah. Sembahyang itu dilakukan tepat pukul 2.00 WIB pada Jumat (28/10). Kedua ibadah pukul 05.00 WIB di kuil.

Sembahyang dewa dilakukan untuk memohon agar keluarganya dilindungi dari segala bentuk bahaya, diberi berkah melimpah baik harta maupun kesehatan. “Juga agar para dewa melindungi orang-orang di sekitar kami dan orang-orang yang telah membantu kami secara langsung atau tidak langsung,” katanya.

Ritual sembahyang dilakukan dengan menyalakan pelita, menyediakan keme­nyan, dupa, daun sirih, bunga dan buah-buahan. Semuanya diletakkan di atas samiarrai.

Ada kelapa bulat yang telah dibersihkan. Poros kelapa yang memiliki tiga mata harus diletakkan dalam posisi terbalik, tidak boleh mengarah ke atas. “Maknanya saat menghadap para dewa, posisi kita sama, tak ada yang berbeda,” katanya. Mantra-mantra lalu dibacakan sesuai dewa-dewi yang dimiliki umat. Di rumah Samiatra ada 8 arca dewa-dewi.

Dewi Lakhsmi, Dewi Batre Kali, Dewi Saraswathi, Dewa Brahma,  Dewa Visnu,  Dewa Muruga dan Dewa Hanoman Haeqpan. Setelah mantra selesai dibacakan, kelapa lalu dibelah dua, airnya dipisahkan ke tempat khusus dan di belahan kelapa dimasukkan daun sirih, dua sisir pisang, bunga dan pinang. Air kelapa itu diperlakukan istimewa karena dianggap sebagai air sungai Gangga yang suci belum tersentuh manusia.

Sembahyang di Kuil

“Di kuil, sembahyan dewa dilakukan pukul 05.00 WIB sebelum matahari terbit. Arca dewa dimandikan dengan meng­gunakan tujuh jenis air,” kata Samitra.

Perayaan Depavali tentu tak lengkap tanpa hidangan kuliner khas India. Apa saja yang dipersiapkan Samitra untuk keuarga dan tamunya?

“Kali ini saya hanya menyediakan kari kambing, laddu, jalebi, omopodi dan  murukku,” tuturnya.

Laddu adalah manisan khas India berbahan dasar tepung dan susu. Bentuk dan besarnya seperti bola pingpong. Jalebi juga camilan manis. Cuma bahannya dari tepung kacang kuda. Bentuknya dibuat melingkar seperti kerupuk. Setelah digo­reng, jalebi direndam dalam sirup gula hingga mengkilap dan mengkristal. Tekstur camilan ini agak kenyal dengan lapisan luar berupa gula yang mengering.

Sedangkan omopodi adalah seperti mi panjang yang digoreng. “Itu simbol agar hubungan kekeluargaan kita berumur panjang,” kata Samitria. Murukkusama dengan omopodi. Hanya bentuknya ber­beda, menggorengnya juga lebih lama agar kering dan gurih, saat dimakan menim­bulkan bunyi “Krik, krik, krik.”

“Berisik, tapi itulah keluarga Tamil, harus bising dan ramai,” tambahnya, yang dalam bahasa Tamil artinya sahabat atau kenalan yang baik. (analisa)

Posting Komentar

Bagaimana tanggapanmu ?.. yuk tulis disini...

Copyright © Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YPSIM).
Designed by ODDTHEMES Shared By Way Templates