Medan, (Analisa) Ceramah baru saja usai, panitia tengah mengatur agar peserta yang duduk di deretan bangku paling belakang keluar lebih dulu. Seorang perempuan setengah baya, mengenakan jilbab warna coklat, tiba-tiba menghampiri Ketua Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda, Finche SE, MPsi yang hendak meninggalkan tempat acara. Dari raut wajah perempuan itu menguar rasa gembira.
"Bu, tolong sampaikan rasa terimakasih saya sama Pak Tan, semoga Tuhan murah rezeki sama Pak Tan, kalau bukan karena kebaikan bapak itu, anak saya yang SMP tak bisa sekolah lagi," tuturnya.
Adegan itu terjadi Selasa siang (27/10) usai acara Penandatangan Surat Pernyataan Anak Asuh YP Sultan Iskandar Muda tahun Ajaran 2020. Acara diikuti orangtua anak asuh, yang dibagi dalam 2 gelombang di Lapangan Perguruan Sultan Iskandar Muda. Acara dihadiri Ketua YP Sultan Iskandar Muda, Finche Kosmanto, SE, MPsi, Anggota Dewan Pembina, Felix Harjatanaya, MSc, Pimpinan Perguruan, Edy Jitro Sihombing MPd., Koordinator Program Anak Asuh, Ir Sahayu Surbakti dan para kepala sekolah.
Perempuan itu Lilis, orangtua Grasela yang kini duduk di kelas VIII SMP Sultan Iskandar Muda. Sehari-hari Lilis bekerja mencuci dan menyetrika baju di beberapa rumah tangga tak jaug dari rumah kontrakannya di Sunggal. Rumah kecil dan sederhana itu disewa Rp 450.000 per bulan. Lilis sendir mendapay Upah cuci setrika Rp 100.000 per rumah tangga.
"Tadi saya bercucuran dengar kisah Pak Tan, itu sama seperti yang saya alami," katanya. Pak Tan yang dimaksud Lilis tak lain adalah dr Sofyan Tan. Ibu dua anak itu tadinya bermaksud berjumpa langsung dengan Sofyan Tan, tapi Ketua Dewan Pembina YP Sultan Iskandar Muda itu sudah keburu ke kamar kecil.
Dari Teplok Sampai WC Cemplung
Saat memberi pengarahan di depan para orangtua anak asuh, Sofyan Tan memang berbagi kisah pilu yang pernah dilakoni dulu. Ia lahir sebagai anak ke-8 dari 10 bersaudara. Ayahnya tukang jahit, ibunya berdagang hasil bumi kecil-kecilan. Saat sekolah di Medan, Sofyan Tan sering menumpang truk pengangkut pasir. Dinding rumahnya terbuat dati tepas, beratap daun rumbia dan berlantai tanah. Untuk cuci minum mandi, mereka menggunakan air sumur.
"WC kami dulu disebut WC cemplung, letaknya di belakang rumah, kalau belajar malam harus masih pakai lampu teplok," tuturnya. Puluhan tahun ia hidup miskin. Ayahnya banting tulang cari uang agar Sofyan Tan bisa sekolah, bahkan sampai habis-habisan membiayai kuliahnya di Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia, Medan. Di tengah berkuliah, ayahnya meninggal dunia. Ia lal7 harus berjuang keras membiayai sendiri kuliahnya.
"Saya kerja keras mengajar di sekolah dan ngajar les privat. Tiap hari hanya tidur 4 jam," tuturnya. Semua itu ia lakoni karena percaya bahwa pendidikan bisa mengubah kemiskinan kekuarganya.
Namun perjuangan hidupnya memang sarat badai. Saat ujian sebagai dokter dengan penguji para dokter USU Medan, dari 11 mata kuliah, tinggal 1 mata kuliah yang tak lulus-lulus. Butuh waktu 2 tahun agar bisa lulus, itu pun setelah ia melakukan protes. Penyebabnya bukan karena ketidakmampuan Sofyan Tan menjawab soal dari dosen penguji.
"Tapi karena sikap rasisnya. Ia tak suka terhadap orang Tionghoa, saya tak tahu pasti alasannya," katanya. Pada ujian tahun ketiga, ia minta ujiannya dihadiri Dekan Fakultas Kedokteran, baru disitu ia dinyatakan lulus.
Balas Kebencian dengan Kasih Sayang
Dua hal dialami Sofyan Tan dalam perjalanan hidupnya: kemiskinan dan diskriminasi. Tapi ia mengaku tak punya dendam. Kemiskinan dan diskriminasi ia hadapi dengan perbuatan cinta dan kasih sayang. Memberi pendidikan yang baik untuk anak-anak miskin. Tak peduli latar belakang suku dan agama mereka.
Meski sudah jadi dokter, Ia memutuskan tak meneruskan prakteknya. Tahun 1990 ia mulai mencurahkan tenaga dan pikirannyq mencari anak-anak dari keluarga miskin untuk jadi anak asuh di sekolahnya. Tak soall latar belakang suku dan agamanya. Waktu itu jumlah anak asuh yang berhadil dijaring hanya 17 orang. Masih banyak orangtua curiga dengan niat Sofyan Tan saat itu.
"Orang Tionghoa kok mau bantu orang miskin, jangan-jangan nanti malah dijual," tuturnya. Namun ia tak mundur dari perjuanganmulianya itu. Setelah 33 tahun jumlah anak asuhnya di Perguruan Sultan Iskandar Muda sudah 4.000 orang lebih.
Sejak terpilih sebagai anggota DPR RI pada Pemilu 2014 dan 2019, target "balas dendam" Sofyan Tan aecara kuantitatif makin meningkat dan meluas. Selama 6 tahun sebagai anggota DPR RI, ia telah berhasil memperjuangkan 168.000 siswa penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) di tingkat sekolah dasar, menengah pertama dan atas, serta 2.500 mahasiswa miskin yang kini berkuliah di PTN dan PTS.
Tak heran saat ke desa-desa melakukan reses, banyak ibu-ibu mengapresiasi perjuangan Sofyan Tan dengan natura: ada yang memberi oleh-oleh sayur-mayur, pisang, jagung, pete sampai ayam! Sofyan Tan sendiri sebenarnya tidak ,engharap hal seperti itu.
"Yang penting anak-anak Belajar yang serius, nanti kelak jadi orang sukses, jangan lupa bantu mereka yang miskin. Dan saat membantu mereka, jangan lihat latar belakang suku, etnis dan agamanya, yang penting mereka miskin," pesannya kepada para orangtua anak asuh.
Sementara itu Finche Kosmanto dalam sambutannya menyebut tahun 2020 ada 465 siswa yang berstatus sebagai anak asuh. Jumlah itu meningkat dari tahun lalu sebagai dampak pandemi Covid-19. Ia juga minta agar anak asuh tak ragu-ragu untuk menggantungkan cita-cita mereka setinggi bintang. Apapun bisa mereka wujudkan. Yang penting mau belajar keras dan sungguh-sungguh. (Ja)
Posting Komentar
Bagaimana tanggapanmu ?.. yuk tulis disini...