"Kita
menghilangken titelatur. Semua
orang yang masuk ke dalem Taman Siswa, hilang titelnya. Raden Mas,
Raden Ayu, Raden Ajeng yang masuk dalem Taman Siswa dengen titel Ki,
kalau laki-laki, Nyi kalau perempuan yang sudah bersuami, dan Ni kalau
perempuan yang belum bersuami. Dengan begitu semua lalu kita sama. Dalam Taman
Siswa tidak ada perbedaan dengan yang lain di dalem tingkatan titelatur."
Dengan
menanggalkan gelar kebangsawanan itu, relasi sosial yang semula tak setara,
yang sejak muda sudah disadari Soewardi dan diperjuangkannya
lewat Indische Partij bersama Tjipto Mangunkusumo dan E.E.E, Douwes
Dekker yang lalu berganti
nama menjadi Danudirja Setiabudi, lalu jadi egaliter.
Lalu saat
berumur 40 tahun, Soewardi mengganti namanya menjadi
Ki Hajar Dewantara. Menurut Savitri Scherer, seperti dikutip Prof. Dr. Nina
Herlina, M.S. dalam tulisannya Tiga
Serangkai Dalam Pergerakan Nasional, dalam buku Ki Hajar Dewantara, Pemikiran dan Perjuangannya,
pergantian
nama itu merupakan penegasan sebuah status sosialnya. Soewardi merupakan
priyayi aristokrat karena statusnya sebagai cucu Paku Alam III. Namun status
sosialnya yang begitu tinggi, ia tinggalkan akibat intrik di dalam kraton.
Melalui pendidikan, status sosialnya itu "dikembalikan" sebagaimana
implisit dari nama barunya Ki Hajar Dewantara yang memiliki makna "seorang
terhormat (Ki) yang mengajar (Hajar) sebagai wakil/perantara dewa (Dewantara)."
Menyulut
Nyala Api
Dalam
perspektif kepemimpinan, Ahmad
Yuniarto, menyebut apa yang terjadi pada
Soewardi muncul akibat pencerahan yang ia terima dari berbagai pendidikan di sekolah
yang
diikutinya.
"Pendidikan
yang ia, terima meski pendidikan model Eropa, telah membangun kesadaran kritis
terhadap lingkungannya," katanya.
Saaat di sekolah ia mendapat pelajaran tentang nilai-nilai kesetaraan, ia
melihat ternyata hanya kaumnya saja yang
bisa bersekolah. Ia juga melihat ada perlakuan berbeda terhada
dirinya sebagai bangsa terjajah.
Semua itu
membangun sebuah kesadaran baru. Nyala api pencerahan itu memuncak
saat pemerintah Hindia Belanda hendak membuat perayaan 100 tahun kemerdekan
Nederland di seluruh tanah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Perayaan
hendak dibuat secara besar-besaran. Biayanya sebagian dibebankan dari hasil kutipan penduduk.
Merasa ada ketidakadilan, ia lalu
menulis pamflet Als ik een Nederlander was atau Seandainya Aku
Seorang Belanda, yang ditulis dalam bahasa Belanda dan Melayu. Isi tulisan
tersebut dianggap menghasut kebencian terhadap pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya,
bersama Tjipto Mangunkusomo dan Douwes Dekker,
trio pendiri Indische Partij ini
dihukum sebagai orang buangan di Negeri Belanda.
Menurut
Yuniarto, di negeri Belanda, Soewardi justru makin banyak mendapat
pengetahuaan baru tentang pendidikan.
Soewardi sangat terpengaruh metode pendidikan Montessori berdasar pada teori
perkembangan anak, dan sekolah alam Rabrindanath Tagore dengan gagasan
mengembalikan anak-anak pada akar budaya
dan jati diri kemanusiaannya.
Bagi
Yuniarto, Soewardi bukan sekadar seorang survivor, tapi juga seorang resilien.
Sebagai orang buangan, ia tak hanya
mampu menanggung beban berat hidup bersama isteri dan anaknya yang masih kecil.
Tapi juga sekaligus mendapat pengetahuan-pengetahuan baru untuk memajukan
bangsanya lewat pendidikan yang kelak menjadi media perjuangannya sepulang
kembali ke tanah air.
Belajar dari
Ki Hajar Dewantara, Yuniarto berharap sebagai pemimpin di lingkungan sekolah,
guru dapat menggeser cara pandang dalam mengelola pandemi sebagai krisis
sementara, menjadi mengelola transisi agar siswa mendapat pegangan sementara agar orang tidak
bingung, atau hilang arah.
Membangun
Kemampuan Resiliensi
Dalam masa
pandemi, guru menurutnya harus
berperan untuk membentuk masa depan anak. Tujuannya bukan agar anak survive
dari krisis atau tidak jadi korban pandemi. Soalnya survive saja belum tentu menjamin anak punya kemampuan
baru untuk bangkit kelak pasca krisis.
"Yang
perlu dibangun adalah kemampuan resiliensi," katanya. Resiliensi adalah
kemampuan anak menangapi disrupsi yang tak direncanakan, mampu
menghadapi gangguan atau stress besar.
Seorang resilien merupakan orang yang mampu menanggung kesulitan, mencari
hal-hal baru dan jalan keluar
baru. Menjadi resilien butuh pola pikir
positi yang melihat gangguan dan kesulitan sebagai sarana memperbaiki
diri.
"Namun
setelah belajar dari hal-hal baru, seorang resilien juga harus berani membuang
hal-hal lama yang tidak lagi sesuai dengan situasi baru," katanya.
Proses
menjadi resilien menurut Yuniarto dimulai dari kemampuan menanggapi
krisis, berani bereksperimen karena
belum ada solusi pasti. Eksperimen harus
terus-menerus dilakukan sampai berhasil.
"Kita
juga harus mampu memanfaatkan kecerdasan kelompok atau mendapatkan ide dari
luar kelompok," katanya. Kolaborasi dengan orang lain menjadi kunci enting. Hal
itu berangkat dari realita, masalah yang dihadapi memang sangat
besar. Dan tak seorang pun mampu menyelesaikan
sendiri. (J Anto)
Posting Komentar
Bagaimana tanggapanmu ?.. yuk tulis disini...