Rubik Inspirasi - Guru Sang Pematik Api


Peran guru bukan sekadar melakukan transmisi pengetahuan. Guru harus memantik api anak agar membuat hangat dan memanaskan semangat atau mimpi besar mereka sekaligus  menjadi manusia pembelajar. Prinsip pendidikan Ki Hajar Dewantara, Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani, adalah alat tepat untuk mewujudkannya.

"Adolf murid yang rajin, kalau ulangan tak pernah curang, hampir tak pernah mangkir dari sekolah, dan di rapornya selalu berderet huruf A. Dia senang menggambar, tak banyak bicara, tak pernah bikin ulah. Satu-satunya keluhan para guru: si Adolf ini kurang total menyimak pelajaran. Menurut mereka, dia terlalu berbakat jadi pelamun atau pemimpi. Hampir semua khawatir kalau-kalau kelak Adolf jadi penyair. Orang-orang bernapas lega  ketika tahun demi tahun, Adolf ternyata ingin jadi tentara."

Namun di kemudian hari, dunia ternganga saat tahu Adolf menganggap dirinya dewa. Ia menjelma jadi sang fuhrer yang membantai jutaan orang lewat mesin perangnya, tentara Nazi. Ya, Adolf yang kalau ulangan tak pernah menyontek, Adolf yang pendiam dan pemimpi itu tak lain adalah Adolf Hitler. 

Kutipan dariesai panjang Omi Intan Naomi sebagai Pengantar buku yang disuntingnya,  Mengugat Pendidikan, Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis (1999), mengingatkan kita  pentingnya arah pendidikan. Atau kalau mau disempitkan, arti penting peran  guru dalam interaksi sosial dengan anak (baca: siswa).

Sebuah pengalaman menarik diungkapkan Ketua Yayasan Biru Peduli, Ahmad Yuniarto, dalam seminar virtual memeringati Hari Kebangkitan Nasional yang dimoderatori kandidat Doctor of Philisophy in Education, Oxford University, Tracey Yani Harjatanaya, Mei lalu. Seminar diikuti 100 guru dari Medan Deli Serdang dan Labuhan Batu, dibuka anggota Komisi X DPR RI, dr. Sofyan Tan. Topiknya: Mengembangkan Kepemimpinan Guru.

Ahmad Yuniarto, yang pernah menjabat CEO Schlumberger Indonesia, salah satu perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia yang berpusat di Houston, Amerika Serikat, menyebut bukan mata pelajaran guru yang diingatnya. Lalu apa?

Sentuhan kasih sayang  mereka, katanya. Ia lalu menyebut salah seorang gurunya saat masih di SD. Namanya ibu Bariah. Di sekolah, ibu Bariah sering mengajaknya ngobrol-ngobrol di luar jam pelajaran. Topik yang diobrolkan remeh temeh. Kadang ia hanya sekadar menyapa. Kebiasaan seperti itu juga dilakukan terhadap anak lain.  

"Karena Ibu Bariah misalnya, bagi saya, juga murid-murid lain, sudah seperti ibu kami saat di sekolah," tuturnya. Setelah dewasa, Ahmad Yuniarto memahami bahwa  apa yang dilakukan dulu oleh gurunya ikut membentuk caranya melihat diri sendiri dan melihat dunia di luar dirinya.

"Hal itu memerlihatkan  betapa kuatnya  pengaruh guru karena mereka punya waktu cukup banyak berinteraksi dengan anak," katanya. Guru menurutnya bukan seperti ember yang penuh  berisi air pengetahuan yang siap disiramkan ke anak.

 

Pemantik Api

Mengutip pujanga Irlandia, yang pada tahun 1923 meraih hadiah Nobel Sastra, William B. Yates, guru adalah penyulut atau pemantik api yang sudah ada dalam diri anak.

"Api  itu tinggal disulut agar menghangatkan dan memanaskan semangat dan cita-cita anak, menumbuhkan mimpi besar agar mereka  makin maju dan menjadi pembelajar  seumur hidup," ujarnya.

Menurut Yuniarto, peran sebagai pemantik api, sejatinya dipinjam dari konsep kepemimpinan. Jika dikaitkan dengan peran guru dalam proses pembelajaran di sekolah, maka sebagai pemantik api, guru bukan sekadar bertanggungjawab melakukan transfer of knowledge, tapi  menjadi  pemimpin yang menumbuhkan pemimpin-pemimpin baru. Untuk itu, api yang disulut guru, bukan sekadar api kepintaran, tapi api kematangan jiwa pada pemimpin-pemimpin muda yang akan terus bertumbuh.

Merujuk konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara yang sangat populer, yakni Patrap Triloka: Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani, kepemimpinan guru lebih dilihat sebagai interaksi sosial di sekolah. Jadi dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin, guru sebenarnya lebih menjalankan fungsi silaturahmi.

Membangun tali silaturahmi bisa dijalankan lewat tegur sapa, bertanya,  besedia mendengarkan, menghargai, memuji, membantu, melayani, memahami, menolong, memerhatikan, mengingatkan, bercakap-cakap, peduli dan  menyemangati anak.

 

Berbasis Relasi Sosial Bukan Hirarki

"Kepemimpinan itu guru berbasis relasi sosial, bukan berdasarkan hirarki," katanya. Tak ada atasan - bawahan. Tiap anak punya bakat kepemimpinan. Tugas guru untuk memantik atau menumbuhkan jiwa kepemimpinan anak. Konsekuensi dari konsep kepemimpinan Ki Hajar Dewantara itu menjadikan pemimpin suatu saat bisa berposisi sebagai pemimpin, namun  suatu saat bisa menjadi pendengar/pengikut (anak).

Selama prinsip Ing ngarso sung tuladha menurut Chairman Save the Children itu, dipahami terlalu sempit oleh guru.  Ia memberi ilustrasi saat anaknya yang berusia 3 tahun melakukan mogok sekolah. Gara-gara si anak mendapat hukuman dari guru. Sementara  anaknya mengaku tak berbuat salah. Ia lalu memediasi dengan pihak sekolah. Mempertemukan anaknya dengan guru dan kepala sekolah. Singkat  cerita, di ruang pertemuan guru dan anaknya saling berpelukan, pertanda masalah selesai. Tapi esok hari, puterinya tetap tak mau masuk sekolah.

"Lo, kenapa? Kemarin kan sudah saling peluk-pelukan dengan gurumu?"

"Iya pa, tapi guru saya tak pernah minta maaf."

Menurut Yurianto, betapa besar dampak terhadap anak jika guru berbuat salah dan tidak mau meminta maaf kepada anak. Masalahnya, tak semua anak dapat  mengekspresikan sikap mereka seperti dilakukan anaknya.

Menurut Yuniarto, meminta maaf dengan tulus kepada anak  saat guru memang berbuat salah adalah penerjemahan dari prinsip Ing ngarso sang tulodho.

“Meminta maaf juga memerlihatkan komitmen sekaligus konsistensi guru yang akan menumbuhkan respek anak. Hal ini juga sekaligus menunjukan konsistensi kualitas kepemimpinan seorang guru,”ujar pemilik nama lengkap Ahmad Surbakah Yuniarto, yang juga alumni program studi Teknik Elektro tahun 1991 Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu. 

Kata tuladha, yang kerap diterjemahkan sebagai  memberi keteladanan, menurutnya harus ditafsirkan secara luas, yakni memberi arah yang mengembangkan, yang memantik api dan memberi inspirasi, bukan instruksi. Keteladanan juga bisa diwujudkan guru lewat tindakan  menyiapkan materi pelajaran dengan baik. Datang ke sekolah jauh sebelum waktu pelajaran dimulai, sehingga guru punya waktu membuat persiapan mengajar. Guru mau bertanggungjwab dan mempertanggungjawabkan kualitas hasil  pengajarannya.

"Bagi saya Ing ngarso sang tuiladha itu  giving inspiration, vision, sense of direction terhadap semua yang ada di sekeliling guru," katanya.  Menggunakan istilah Daniel Goleman, prinsip Ki Hajar Dewantara ini mengajak guru untuk jadi pemimpin  visioner. Pemimpin yang melihat jauh ke depan. Pemimpin yang mampu memaknai sesuatu dari cara berbeda, bahkan bisa melihat sesuatu dibalik sebuah kesulitan.

 

Ing Madya Mangun Karsa

Prinsip kepemimpinan kedua dari Ki Hajar Dewantara adalah Ing madya mangun karsa. Membangun karsa adalah membangun niat, membangun kemampuan meta kognisi atau kemampun kritis terhadap pemikirannya sendiri atau berani melakukan otokritik.

Menumbuhkan kemampuan meta kognisi anak di masa depan, menurut Yurianto, dsangat penting. Masa depan anak-anak yang akan menjadi pemimpin, menurutnya akan mengelola hal-hal yang seolah-olah saling bertentangan. Mereka akan berhadapan dengan orang-orang dari beragam latar belakang ras, etnis, budaya, bahasa, kebiasaan dsb.

Anak yang memiliki kuat  meta kognisinya, menurutnya akan mudah mengelola kompleksitas masalah yang ada di sekitarnya. Mereka lebih mudah menyesuaikan diri saat berada di tempat yang baru karena memiliki kecerdasan budaya. Kemampuan meta kognisi juga membuat mereka memiliki  make sense. Artinya anak mudah  memahami atau  mengenali atau menginterpretasi data-data yang terlihat acak.

Sedangkan prinsip kepemimpinan Tut wuri handayani, lebih merupakan upaya guru memberikan tenaga, daya, kuasa kepada anak agar  mereka bisa menyelesaikan segala sesuatu ysng menjadi tugasnya.

“Sasarannya adalah otonomi anak. Anak yang  memutuskan, mengambil tindakan, berani menerima resiko dan mengakui salah, jika memang melakukan kesalahan,” katanya.

 

Mengubah Akhir Cerita Anak

Menerapkan filosofi kepemimpinan Ki Hajar Dewantara, menurut Yuniarto menuntut sarat 3 K. K pertama koneksi, di sini guru dintutut untuk mampu membangun kedekatan emosi, bertindak welas asih, peduli dan respek kepada anak. Kedua klarifikasi atau kejelasan. Artinya guru harus bisa menjelaskan secara tulus  segala hal sehingga dipercaya anak. Ketiga adalah komitmen, artinya guru harus mampu memberdayakan dan mau mempertanggungjawabkan hasilnya.

"Satu hal lagi yang penting, guru juga dituntut kemampuan menggunakan teknik story telling dalam menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan di sekolah," katanya. Story telling  adalah komunikasi dengan model bertutur. Biasanya lewat cerita personal guru. Menurut Yuniarto, guru tak bisa mengubah masa lalu mereka. Tapi guru punya kesempatan mengubah akhir ceritanya,  dan memiliki  kesempatan membantu anak  mengubah akhir cerita mereka sebagai calon-calon pemimpin-pemimpin baru.


Posting Komentar

Bagaimana tanggapanmu ?.. yuk tulis disini...

Copyright © Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YPSIM).
Designed by ODDTHEMES Shared By Way Templates