Rindu bermain engklek, permainan tradisional yang populer di kalangan anak-anak yang lahir 1950-an, dapat menghinggapi siapa saja dan kapan saja. Tak terkecuali bagi orang yang telah menjadi anggota dewan, guru atau profesi lain.
Itulah yang terjadi Sabtu (17/8) pagi pada anggota Komisi X DPRI RI, dr Sofyan Tan. Usai menjadi inspektur upacara pada Peringatan HUT ke-74 Kemerdekaan RI di Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan, Sofyan Tan langsung berbaur dengan ratusan siswa dan guru yang tengah mengikuti berbagai lomba permainan tradisional di lapangan sekolah.
Salah satu permainan yang dilombakan adalah engklek. Permainan yang didapati di Pulau Jawa, Sumatera, Bali dan Kalimantan itu juga disebut juga teklek, sundamanda, dampu atau marsitekka.
Saat bermain, anak harus melempar gacuk, sekeping pecahan genting atau batu pipih, yang dilempar pemain ke salah satu petak. Gacuk yang masuk di kotak tidak boleh diinjak, dan harus diambil setelah pemain berhasil melompat dari satu petak ke petak lain satu putaran gambar.
Setelah itu, pemain, dengan membelakangi gambar, melempat gacok. Kotak di mana gacok itu jatuh menjadi miliknya dan tak boleh diinjak pemain lain. Pemain yang memiliki kotak paling banyak menjadi pemenang.
Begitulah dengan masih mengenakan setelan jas hitam, baju putih dan dasi merah, Sofyan Tan langsung masuk arena permainan. Tepuk tangan guru dan siswa pecah saat Sofyan Tan berhasil melompat sampai dua putaran. Setelah Sofyan Tan lalu disusul Ketua Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda, Finche Kosmanto, yang pagi itu mengenakan sari, pakaian tradisional India. Berturut guru dan siswa pun larut dalam tawa ceria dan canda saat ada pemain yang terpelanting saat mengambil gacok atau melompat.
Identitas budaya
"Engklek bukan sekadar permainan tradisional, tapi juga salah satu identitas budaya bangsa yang mungkin sudah kurang dikenal lagi anak-anak kita," ujar Sofyan Tan masih dengan napas tersengal.
Memasyarakatkan kembali permainan tradisional menurut Sofyan Tan merupakan salah satu langkah konkret mewujudkan ajaran Tri Sakti Bung Karno di bidang kemandirian budaya. Permainan engklek bukan hanya murah meriah, tapi secara tak langsung juga mengajar anak-anak sejak dini untuk cinta olahraga.
Sebelumnya saat memberikan sambutan, Sofyan Tan menekan pentingnya menumbuhkan rasa bangga anak-anak muda terhadap kekayaan ragam etnis, budaya, bahasa, pakaian daerah, agama, kuliner dan sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia.
Semua itu menurut Sofyan Tan merupakan modal utama dalam proses menuju negara Indonesia yang maju dan sejahtera pada 2030, termasuk kemajuan di bidang iptek yang telah banyak diperlihatkan anak-anak muda milenial. "Kita juga punya bonus demografi sebanyak 200 juta yang akan berperan penting pada 2030," katanya.
Modal sosial, budaya dan alam itu menurutnya telah membuat iri banyak negara lain. Mereka coba mengganggu, bahkan berupaya menghancurkan bangsa Indonesia dengan menyebarkan virus intoleransi dan ajaran-ajaran radikal untuk memecah belah soliditas yang ada.
"Yang berbeda katanya harus dianggap musuh, bahkan boleh dikerasi, itu ajaran yang tak sesuai etika bangsa kita yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, juga tidak sesuai budaya gotong royong kita," katanya.
Budaya gotong royong tanpa membedakan ras, etnis, golongan, agama, status sosial dan perbedaan gender, menurut Sofyan Tan, terbukti 74 tahun lalu telah berhasil memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajah. Karena Ketua Dewan Pembina YP SIM itu mengingatkan untuk selalu belajar dari Bung Karno, Megawati Soekarno Putri, Abdurrahman Wahid, B.J. Habibie, SBY dan Presiden Joko Widodo.
Segri, guru bahasa Buddha yang etnis Tamil, mengaku saat kanak-kanak ia juga kerap bermain engklek, patok lele, lompat karet dan kasti dengan anak Tamil lain di halaman Vihara Loka Shanti, Medan Polonia. "Saya bahkan tak kenal lagi dengan permainan trafisional etnis Tamil. Itu karena saya adalah bangsa Indonesia," ujarnya usai bermain engklek dengan guru lain di Sekolah Sultan Iskandar Muda.
Posting Komentar
Bagaimana tanggapanmu ?.. yuk tulis disini...