Sofyan Tan : Edukasi Multikultur Solusi Atasi Masalah SARA


Jakarta, (Analisa). Dr. Sofyan Tan didampingi isterinya Elinar, dan dua puteri mereka Tracey Yani Harjatanaya dan Cindy Harjatanaya serta Ketua YP Sultan Iskandar Muda Finche, SE, MPsi, Sabtu (7/6) malam di Grand Studio Metro TV Kedoya, Jakarta, terlihat terus-menerus menebar senyum.

Mengenakan batik warna ungu anggur bercampur merah darah, raut wajah Ketua Dewan Pembina YP SIM itu terlihat makin sumringah, terlebih saat sejumlah undangan yang mulai berdatangan sejak pukul 17.00 WIB, silih berganti memberikan ucapan selamat.

“Saya bangga dengan apa yang dilakukan Sofyan dengan sekolahnya itu, kontribusinya sangat jelas untuk bangsa ini,”ujar Ir. Sarwono Kusumaatmadja, mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, usai menjabat hangat Sofyan Tan yang sudah dikenalnya sejak tahun 1990 itu.

Malam itu sebuah hajatan penting memang digelar Maarif Institut bekerjasama dengan Metro TV yakni “Malam Penganugerahan Penghargaan Maarif Award 2014.” Sejumlah tokoh yang kerap disebut media massa sebagai tokoh bangsa hadir, di antaranya Jusuf Kalla, Frans Magnis Suseno, Abdul Munir Mulkan dan Romo Benny Susetyo.

Hadir juga M Lutfi, Menteri Perdagangan, juga sejumlah tokoh masyarakat dan intelektual seperti Bambang Ismawan, Clara Joewono, Anhar Gonggong, Rizal Sukma, Jeffrie Geovanie, Sarwono Kusumaatmadja dan”Kick” Andy F Noya.

Maarif Institute merupakan lembaga gerakan kebudayaan dalam konteks keislaman, kemanusiaan dan keindonesia sesuai cita-cita intelektualisme tokoh nasional Ahmad Syafii Maarif.

Lembaga ini dibentuk dalam rangka mewujudkan keadaban, perdamaian, saling pengertian dan kerjasama yang konstruktif bagi kemanusiaan.

Sejak 2007 menurut Fajar Riza Ul Haq, Direktur Eksekutif Maarif Institut, lembaga yang dpimpinnya memberikan Maarif Award kepada orang-orang atau tokoh-tokoh lokal yang mampu menjembatani perbedaan di masyarakat atau komunitas mereka.

Merawat Ke-Indonesiaan

Maarif Award merupakan bentuk apresiasi dan pengakuan terhadap anak bangsa yang berdedikasi untuk merawat keindonesiaan dan memperjuangkan kemanusiaan lewat kerja-kerja kemanusiaan melalui inisiatif-inisiatif kepemimpinan di tingkat lokal.

“Demokrasi membutuhkan nilai-nilai keberagaman, orang-orang yang menerima penghargaan Maarif Award selalu orang-orang yang mampu menjembatani perbedaan di masyarakat,” ujarnya saat memberi sambutan.

Mereka juga merupakan figur yang yang kreatif, otentik, visioner dan membumi yang sekaligus merupakan bibit kepemimpinan Indonesia yang mampu menjadi harapan bagi bangsa.

Beberapa orang yang pernah menerima Maarif Award di antaranya Arianto Sangadji aktivis penggerak perdamaian dan rekonsili Muslim-Kristen di Poso, Ahmad Bahruddin, tokoh muda NU Salatiga yang aktif dalam pemberdayaan masyarakat pewani dan menginisiasi komunitas belajar Qoryah Thayyibah, dan Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty sebagai tokoh agama pelopor rekonsili dan reintegrasi Kristen-Muslim di Ambon.

Pada tahun 2014, Maarif Award diberikan kepada Masril Koto dari Agam, Sumatera Barat dan Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda dari Medan. Masril Koto adalah pemrakarsa bank petani yang jumlahnya kini mencapai 500 lebih di Sumatera Barat dan daerah lain di Indonesia. Masril Koto berhasil mentransformasikan peran bank petani dalam proses mediasi dan resolusi konflik saat muncul friksi antara petani pribumi dan non pribumi.

Sedangkan Sofyan Tan adalah pendiri sekaligus penggagas pendidikan multikultur di lingkungan Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda yang dibangunnya sejak 1987 di Medan Sunggal.

Sofyan Tan menjadikan pendidikan di sekolahnya sebagai media untuk meruntuhkan segregasi etnis dan menghapus stereotip yang berkembang diantara peserta didik yang plural. Pendekatan subsidi silang pembiayaan sekolah dari yang mampu kepada yang tidak mampu berperan penting mengikis kecemburuan sosial dan kebencian akibat kesenjangan ekonomi.

Penetapan keduanya sebagai penerima Maarif Award 2014 diputuskan oleh lima dewan juri yakni Prof.Dr. M. Amin Abdullah, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Clara Joewono, Wakil Ketua Center for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, Maria Hartiningsih, jurnalis senior Harian Kompas,  Andy F. Noya, presenter  program talkshow Kick Andy, dan Tuan Guru Hasanain Juaini, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haramain Nahdlatul Wathan, Lombok Barat.

Tugas Berat

Saat memberi sambutan usai menerima Maarif Award berupa trofi berbentuk cincin setinggi 30 cm, dan check senilai Rp 35 juta, Sofyan Tan secara jujur mengaku bangga namun sekaligus galau.

“Hanya sekitar dua minggu sebelum menerima penghargaan ini, di Yogyakarta muncul tindak intoleransi atas nama perbedaan agama,”ujarnya. Ia prihatin dan sangat menyesalkan tindak intoleransi itu. Karenanya penghargaan Maarif Award yang diterimanya, ia anggap simbol agar Perguruan Sultan Iskandar Muda bekerja lebih keras lagi untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan menghargai keberagaman.

Untuk itu ke depan ia mengajak seluruh komponen anak bangsa untuk menerapkan pendidikan multikultur secara terencana, sistematis dan terukur. Ia tak menginginkan penerapan pendidikan multikultur hanya secara simbolik.

Solusi Atasi Masalah SARA

“Selama lebih dari 25 tahun Perguruan Sultan Iskandar Muda telah menerapkan pendidikan multikultur. Jika pengalaman sekolah kami dapat diterapkan di sekolah-sekolah lain di tanah air, saya yakin 25 tahun ke depan, penyelenggaraan pemilu atau pilkada tak akan lagi diwarnai isu SARA seperti yang terjadi sekarang ini,”tegas Sofyan Tan disambut applaus meriah para undangan yang memenuhi studio televisi berlogo kepala burung garuda itu.

Karena itu Sofyan Tan berharap menteri pendidikan dari pemerintah baru yang terpilih kelak, dapat membuat  kebijakan  untuk menerapkan pendidkan multikultur yang subtansial di seluruh sekolah di tanah air.

Pilih Jadi Dokter Sosial  

Pada bagian lain sambutannya, Sofyan Tan menyatakan rasa terimakasihnya terhadap pengorbanan isterinya yang mau hidup sederhana sejak menikah dengannya. Tahun 1990 saat dirinya sudah jadi dokter, ia justru memutuskan tak buka praktik sebagai dokter umum.  

Sofyan Tan malah memilih praktik sebagai dokter sosial untuk mengobati penyakit sosial masyarakat lewat pendidikan. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Maarif Institut dan para guru di Perguruan Sultan Iskandar Muda yang telah bekerja keras mengimplementasikan ide-idenya tentang pendidikan multikultur itu.

“Sofyan ini bisa sukses karena cara berpikirnya memang tidak konvensional. Karena itu saya percaya walau ia sekarang sudah jadi politisi di Senayan, tapi saya yakin  ia tidak akan terjerumus dalam praktik politik yang korup,”ujar Sarwono Kusumaatmadja sembari tersenyum ke arah Sofyan Tan yang berdiri di sebelahnya.

Mendengar komentar sahabatnya, Sofyan Tan, juga  dengan senyum mengembang, langsung menimpali: “Saya sudah punya agenda bertemu kawan-kawan ICW untuk mendalami cara membaca politik anggaran secara kritis, termasuk bersinergi dengan aktivis LSM lain dan jurnalis untuk mengawal kerja-kerja politik saya,”katanya. (rel/rrs)

Posting Komentar

Bagaimana tanggapanmu ?.. yuk tulis disini...

Copyright © Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YPSIM).
Designed by ODDTHEMES Shared By Way Templates