Merawat dan Merajut Budaya Toleransi




Oleh: J Anto

TIDAK lelah merawat dan menumbuhkan hibrida-hibrida muda yang toleran dalam kesadaran akan realita yang majemuk, Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan baru saja (7/1) meresmikan rumah ibadah Pura. Inilah rumah ibadah keempat setelah mesjid, gereja dan Vihara yang dibangun dan berdiri saling bersebelahan di kompleks sekolah. Sebuah oase di tengah meruyaknya praktek menolak kehadiran sang liyan (the other) di tengah masyarakat yang plural.

Sebuah Short Messege Service (SMS) masuk ke ponsel dr. Sofyan Tan perte­ngahan Oktober tahun 2016 lalu. Si pengirim seorang ibu. Bunyi pesan pendek itu kurang lebih begini, “Pak Sofyan, Sekolah Sultan Iskandar Muda katanya sekolah multi­kultur, tapi kenapa tanggal 29 Oktober ada ujian sekolah?”

Sekalipun padat dengan agenda rapat dalam kapasitasnya sebagai anggota Komisi X DPR RI, namun Sofyan Tan tak mau mendiamkan sms tersebut. Ia segera meneruskan pesan tersebut ke anggota dewan pembina yayasan tersebut, Tracey Yani Harjatanaya. Penjelasan segera diperoleh dari Kepala SD di perguruan yang berlokasi di Medan Sunggal itu, Vina Liong.

“Saya memang membuat kalender akademik ujian siswa SD mulai tanggal 24 – 31 Oktober, dari Senin ke Senin, dan ujian hanya berlangsung 6 hari, minus hari Sabtu tanggal 29 Oktober dan Minggu 30 Okto­ber, tapi dalam selebaran pengumuman tak dijelaskan, dikira tanggal 29 Oktober ada ujian juga,” tutur Vina Liong saat dijumpai di sekolah Rabu (4/1).

Dengan kata lain ini sebuah kesalah­pahaman belaka. Vina Liong, adalah master Teknologi Pendikan dari Universitas Negeri Medan. Ia paham, tanggal 29 Oktober 2016 adalah hari Deepavali. Hari raya penting bagi umat Hindu. Pihak yayasan tempatnya bekerja juga sudah menetapkan sebagai hari libur fakultatif.

Pada hari itu, umat Hindu di dunia, termasuk siswa di sekolahnya, memang merayakan Deepavali. Sebuah hari yang dipercaya sebagai simbol kemenangan cahaya atas kegelapan, kebenaran atas kejahatan. Menurut cerita, saat menyambut kepulangan Rama dari medan perang setelah mengalahkan Rahwana, sepanjang jalan masyarakat menyalakan pelita. Rahwana dipercaya sebagai keturunan asura atau iblis. Seorang raja kejam dan lalim. Cahaya atau terang itu representasi­nya adalah Baghwan Krishna.

Menghargai Kesetaraan Hak

Apa pelajaran yang bisa dipetik dari kasus salah paham tersebut?

“Sangat terlihat semangat multikultur dari si orangtua. Itu positif, seperti yang selama ini kita harapkan bersama bahwa orang tua ikut aktif berperan menjadi partner dari sekolah dalam pendidikan anak­nya,” kata Tracey Harjatanaya, yang meraih gelar S2 di bidang Comparative and International Education, Department of Education, University of Oxford tahun 2011 itu.

Kandidat doktor pendidikan di Department of Education Oxford University ini bahkan melihat pengajuan kesetaraan hak adalah salah satu aspek penting dari pendidikan multikultural yang diterapkan di sekolah. Dan pihak sekolah menyambut baik masukan yang membangun seperti itu.

Secara sederhana pendidikan multi­kultural menurut Tracey menjadi pijakan pelaksanaan pendidikan yang menekankan nilai keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan untuk menopang terciptanya masyarakat multikultural Indonesia yang kokoh dan tidak terkotak-kotak.

Menumbuhkan budaya toleransi lewat praksis pendidikan multikultural tentu bukan proses instan. Namun butuh waktu. Terlebih peserta didik setiap tahun ajaran baru juga silih berganti. Baik latar belakang sekolah asal, latar belakang pergaulan sosial, ekonomi, suku, agama dan budaya.

“Siswa yang berlatar belakang sekolah monokultur. Awalnya akan kaget-kaget,” tutur Ustaz Agus Rizal, Kasek SMP Sultan Iskandar Muda. Sekolah monokultur yang dimaksud alumni Program Pasca Sarjana jurusan Perbandingan Agama Islam Universitas Islam Negeri Sumut tahun 2016 itu adalah sekolah yang pendirian dan proses pembelajarannya berdasar agama.

Ambil contoh yang dialami Cut Adel (21), kini mahasiswa Fakultas Hukum USU Medan. Cut adalah alumni SMA tahun 2014. Semula Cut sekolah di SD Islam di Banda Aceh sampai kelas 3 SD. Bencana gempa bumi dan tsunami membuat ke­luarga­nya pindah ke Medan. Cut lalu melanjutkan sekolahnya di SD yang berlandaskan agama Islam sampai tamat. Saat SMP ia masuk sekolah negeri.

Baru saat SMA, tahun 2011, ia masuk ke Sekolah Sultan Iskandar Muda. Semula ia menyangka itu sekolah dengan peserta didik mayoritas muslim seperti nama Sultan Iskandar Muda yang Raja Aceh.

Namun setelah 2 hari bersekolah, ia mengaku kaget mendapati suasana sekolah yang sangat beragam dari sisi suku, agama bahkan juga bahasa daerah yang dipakai peserta didik.

“Awal saya lumayan kagok saat bergaul dengan orang Tionghoa, Batak, atau Nias atau yang beragama Kristen atau Budha, soalnya lingkungan saya sejak kecil mayoritas Islam,” tutur Cut yang kelahiran Banda Aceh 1 Desember 1995 itu.

Tapi karena ada kemauan dari Cut untuk mengenal teman-teman “barunya yang berbeda” itu, ditambah bimbingan para guru, Cut akhirnya ia bisa melebur bersama “sang liyan” itu.

“Saya makin kenal dengan budaya teman-teman saya yang beragam itu,” tutur Cut yang tahun depan ingin mengambil jurusan Hukum Internasional itu.  Kasus seperti Cut juga terjadi bagi peserta didik yang semula bersekolah monokultur berasaskan agama Kristen.

“Saat pertama masuk SMP, saya baru tahu ada siswa perempuan yang pakai jilbab dan saat puasa tak boleh sembarangan makan di depan yang berpuasa,” tutur Jonathan Wijaya (18), alumni SMA Sultan Iskandar Muda yang kini mahasiswa STIMIK Mikroskil Jurusan Teknik Infor­matika.

Butuh Raw Models

Menurut Tracey Harjatanaya, peran guru dalam mengenalkan “sang liyan” terhadap peserta didik yang berasal dari sekolah monokultur memang sangat vital dalam menumbuhkan nilai toleransi. Guru selain harus mampu membuat ruang kelas sebagai sarana diskusi, menggali pemikiran siswa mengenai hal-hal yang bersifat sensitif dan kontroversial, juga harus dapat memberikan penjelasan yang mampu membawa siswa “kembali” kepada NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Sikap toleransi menurut Finche Kos­manto, Ketua yayasan juga dikembangkan dengan kegiatan kemanusiaan atau bakti sosial terhadap warga yang  secara ekonomi berkekurangan atau tengah mengalami musibah misalnya banjir, kebakaran atau gempa bumi seperti terjadi di Pidie Jaya, Aceh belum lama ini.

Di sekolah misalnya dibentuk Leo Club. Anggotanya peserta didik yang secara sukarela menyisihkan sebagian uang jajan mereka setiap bulan untuk membuat kgiatan sosial.

Edy Jitro Sihombing, Kasek SMA Sultan Iskandar Muda,  menekankan penting­nya guru sebagai raw model dalam praksis pendidikan multikultural. Saat apel pagi, Edy Jitro misalnya berkeliling mengecek pakaian peserta didik.

“Kalau mendapati ada rambut siswa keluar dari jilbab yang dikenakan, langsung saya beritahu agar dibenarkan,” tuturnya. Edy Jitro sendiri seorang Kristen.

Selain melibatkan “intervensi” guru, pelibatan orangtua juga tak kalah penting.

“Sekolah juga melibatkan orang tua dalam kegiatan-kegiatan sekolah, mem­berikan pembelajaran kepada orangtua ketika orang tua menunjukkan sifat stereo­tip yang bertentangan dengan praktek toleransi di sekolah,” katanya.

Menurut Tracey, tak jarang ada orang tua yang belum meresapi praksis pendidikan multikultural sering mengintervensi seko­lah dengan meminta agar anaknya duduk sebangku dengan yang seagama atau satu suku/etnis.

Lewat metode dan pelibatan multi pihak, pencerahan pun terjadi. Tumbuh kesadaran dan sikap toleran dari peserta didik, juga orang tua untuk menerima kehadiran sang liyan. Saat sikap untuk menerima kehadiran sang liyan dianut dalam kehidupan sehari-hari atau telah menjadi langgam interaksi sosial, maka budaya toleransi bisa dikata­kan telah bertumbuh.

Usaha merawat keberagaman budaya peserta didik dan menumbuhkan budaya sekolah yang toleran terhadap perbedaan itu sendiri sudah berumur panjang di sekolah yang beroperasi sejak April 1988 itu. Tentu saja terus menerus terjadi usaha pengayaan metode dalam perjalanan waktu. Baik dalam proses pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas.

“Sejak awal tahun 2000-an kami telah membangun fasilitas rumah ibadah yang berada dalam satu kompleks sekolah,” ujar Tracey. Awalnya diba­ngun mesjid (1999) disusul gereja (2000) dan vihara (2001) dan tahun 2016 menyusul Pura yang baru saja diresmikan oleh Buya Ahmad Syafii Maarif, “Guru Bangsa” yang juga Ketua Umum PP Muhammadiyah 2000 – 2005.

Menurut Tracey, pembangunan rumah-rumah ibadah itu merupakan terjemahan dari filosofi pendidikan yang dianut sekolah sejak awal didirikan. Lewat pendirian rumah ibadah, pihak sekolah ingin peserta didik menjalankan ibadah sesuai keyakinan dan belajar ilmu agama yang sarat dengan ajaran nilai-nilai kemanusiaan dan tole­ransi.

Di sisi lain karena peserta didik dibiasa­kan melihat perbedaan dalam pelaksanaan ibadah, maka sikap tenggang rasa atau jiwa toleransi terhadap perbedaan pun ikut bertumbuh.

Budaya toleransi juga dimediasi lewat berbagai kegiatan ekstra kurikuler seperti grup tari modern dan tradisional, cheerleaders atau grup band musik, yang komposisinya selalu melibatkan peserta didik yang plural dari sisi suku dan agama. Juga lewat pemilihan ketua dan wakil ketua OSIS yang dipilih langsung oleh peserta didik dalam sebuah pemilu layaknya untuk memilih angota dewan. Ada pasangan calon, ada masa kampanye, ada waktu penyoblosan.

“Jadi di SMA pernah ada Ketua OSIS yang Tionghoa, Batak, Jawa, pokoknya mereka yang berhasil menarik minat pemilih,” tambah Edy Jitro Sihombing. Setiap hari besar agama juga dirayakan di sekolah. Masa Orientasi Siswa (MOS) dimanfaatkan untuk mengenalkan visi misi yayasan dan gambaran pelaksanaan pendidikan multi­kultur sekolah.

Pembelajaran multikultural juga diterap­kan di kelas dengan mengintegrasikan materi pelajaran yang relevan dengan nilai-nilai multikulturalisme. Artinya selain lewat pembelajaran sikap, juga dkenalkan lewat bermacam pengetahuan.

Saat nilai budaya mau mengakui, meng­hargai dan menerima perbedaan yang ada sudah tumbuh, maka menurut Tracey peserta didik dapat berperan ikut menjaga budaya sekolah multikultur.

Ia lalu memberi contoh saat seorang guru agama ketahuan menjelek-jelekkan agama lain saat mengajar.

“Yang memberi tahu ke pihak sekolah justru peserta didik yang seagama dengan si guru,” kata Tracey yang tengah menyusun tesis tentang penerapan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika di sekolah Indonesia yang memiliki demografi sosial siswa yg berbeda dari segi agama, etnis dan status ekonomi di bawah bimbingan Dr Nigel Fancourt and Dr David Johnson itu.

Setelah guru bersangkutan dipanggil, diverikasi dan terbukti melakukan hal tersebut, maka sanksi pun dijatuhkan. Sang guru lalu diberhentikan.

Merawat dan menumbuhkan budaya toleransi terhadap keberadaan sang liyan yang berbeda suku, etnis, agama, budaya memang bukan proses instan. Bukan juga sekadar tanggungjawab sekolah, guru atau peserta didik, tapi juga melibatkan peran orangtua. Bahkan menurut Tracey juga melibatkan peran pemerintah sebagai raw model.

“Pemerintah tak hanya berperan mem­promosikan nilai-nilai praktek toleransi dalam kehidupan riil. tapi juga bersikap adil dalam memerangi kasus intoleransi dan melindungi segenap warga, baik yang dianggap mayoritas maupun minoritas sehingga tidak timpang sebelah,” tegas anggota Riset dan Kajian Strategis, Perhim­punan Pelajar Indonesia United Kingdom itu. (J. Anto/Analisa)

Posting Komentar

Bagaimana tanggapanmu ?.. yuk tulis disini...

Copyright © Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda (YPSIM).
Designed by ODDTHEMES Shared By Way Templates